Hampir setiap hari kita membutuhkan plastik untuk berbagai hal, yakni sebagai pembungkus makanan, alas makan dan minum, untuk keperluan sekolah, kantor, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan plastik memiliki sifat unggul seperti ringan tetapi kuat, transparan, tahan air serta harganya relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.
Namun, plastik yang beredar di pasaran saat ini merupakan polimer sintetik yang terbuat dari minyak bumi yang sulit untuk terurai di alam. Akibatnya semakin banyak yang menggunakan plastik, akan semakin meningkat pula pencemaran lingkungan seperti penurunan kualitas air dan tanah menjadi tidak subur.
Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini dapat duraikan kembali mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Biasanya plastik konvensional berbahan dasar petroleum, gas alam, atau batu bara. Sementara plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa-senyawa yang terdapat dalam tanaman misalnya selulosa, kolagen, kasein,
protein atau lipid yang terdapat dalam hewan.
Jenis plastik biodegradable antara lain polyhidroksialkanoat (PHA) dan poli-asam amino yang berasal dari sel bakteri, polylaktida (PLA) yang merupakan modifikasi asam laktat hasil perubahan zat tepung kentang atau jagung oleh mikroorganisme, dan poliaspartat sintesis yang dapat terdegradasi. Bahan dasar plastik berasal dari selulosa bakteri, kitin, kitosan, atau tepung yang terkandung dalam tumbuhan, serta beberapa material plastik atau polimer lain yang terdapat di sel tumbuhan dan hewan.
Plastik biodegradable berbahan dasar tepung dapat didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya . Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Plastik berbahan dasar tepung aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekira 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat.
Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah.
Sampai saat ini masih diteliti berapa cepat atau berapa banyak polimer biodegradable ini dapat diuraikan alam. Di samping itu, penambahan tepung pada pembuatan polimer biodegradable menambah biaya pembuatan plastik.
Namun ini menjadi potensi yang besar di Indonesia, karena terdapat berbagai tanaman penghasil tepung seperti singkong, beras, kentang, dan tanaman lainnya. Apalagi harga umbi-umbian di Indonesia relatif rendah. Dengan memanfaatkan sebagai bahan plastik biodegradable, akan memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan. Bukan tidak mungkin kelak Indonesia menjadi produsen terbesar plastik biodegradable di dunia.
Jerman, India, Australia, Jepang, dan Amerika adalah negara yang paling intensif mengembangkan riset plastik biodegradable dan mempromosikan penggunaannya menggantikan plastik konvensional. Produk industri berbahan dasar plastik mulai menggunakan bahan biodegradable. Fujitsu, perusahaan komputer besar di Jepang telah menggunakan plastik biodegradable ini pada semua casing produknya. Komunitas internasional sepakat, penggunaan bahan polimer sintetis yang ramah lingkungan harus terus ditingkatkan.
Sementara itu, penggunaan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Padahal sudah jelas potensi bahan baku pembuatan plastik biodegradable sangat besar di Indonesia. Tampaknya perlu dukungan dari semua pihak terutama pemerintah selaku regulator, industri kimia dan proses, serta kesadaran dari seluruh masyarakat. Harus ada kerja sama diantara banyak pihak untuk mendukung penerapan plastik biodegradable menggantikan plastik konvensional.
Penggunaan skala besar plastik berbahan biodegradable ini akan membantu mengurangi penggunaan minyak bumi, gas alam dan sumber mineral lain serta turut berkontribusi menyelamatkan lingkungan
1. Polyethylene terephthalate (PET or PETE)
Polyethylene terephthalate (PET or PETE) is one of the most common types of plastic and is commonly found in bottles of soda, juice, water and cough syrup and jars of peanut butter. The bottoms of these containers are usually stamped with the chasing arrows symbol and the number 1, the code for PET.
2. High-density polyethylene (HDPE)
High-density polyethylene, or No. 2 HDPE, is used in shampoo and detergent bottles, milk jugs, cosmetics, motor oil, toys and sturdy shopping bags, and is considered one of the safer plastics. HDPE is often opaque or cloudy. Some recycling centres can only handle clear No. 2 plastics, such as milk jugs, but not colored bottles. As rule of thumb, bottles, jars, and jugs are most likely to be collected for recycling, particularly those labelled 1 or 2. Tubs, lids, spray pumps, buckets, films, bags and items containing toxic chemicals such as drain cleaner, are less likely to be accepted by recyclers.
3. Polyvinyl chloride (PVC)
Polyvinyl chloride, or No. 3 PVC, is found in shower curtains, meat and cheese wrappers, ring binders, some bottles, plumbing pipes and building materials. Commonly called vinyl, PVC and closely related PVDC differ from other vinyls, which lack the toxic chloride. PVC continues to be used in many toys.
4. Low-density polyethylene (LDPE)
Low-density polyethylene, or No. 4 LDPE, is used in shopping bags, six-pack rings, hard drive casings, CD and DVD cases and some bottles. Unlike PVC, LDPE isn’t regarded as a ‘bad’ plastic by most eco watchdogs. Potentially toxic industrial chemicals involved in its manufacture, however, include butane, benzene and vinyl acetate.
5. Polypropylene (PP)
Polypropylene, or PP, is used in the products in this photograph as well as in nappies, pails, dishes, candy containers and lab equipment. The purple product pictured here is made from recycled polypropylene from Recycline. Makers of electronics packaging, including Microsoft, are increasingly using the recycled material instead of toxic PVC.
6. Polystyrene, or Styrofoam
Polystyrene, also known as Styrofoam, is used in disposable cups and take-out food containers, packing peanuts, trays and egg cartons. Most fast-food chains, including McDonald’s, phased out polystyrene for sandwich containers more than 20 years ago. Ozone layer-depleting CFCs haven’t been used to make Polystyrene since the late 1980s.
7. ‘Wild card’
The No. 7 SPI code is generally a wild card marking plastics that don’t fall within the other six categories. These include polycarbonate bottles, which are understood by scientists to wreak havoc on human hormones by leaching bisphenol-A into hot beverages. As a result, polycarbonate baby bottles are losing favour with the public, and retailers including Toys ‘R Us are starting to sell more BPA-free bottles. (smartplanet.com article.)
No comments:
Post a Comment
Pertanggung jawabkan komentar anda... :)